Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) mendapat protes dari hampir seluruh daerah di Indonesia pasca pengumuman hasil tes CPNS Honorer Kategori II (K2). Protes berasal dari para honorer yang tidak lulus dalam pengumuman hasil seleksi CPNS K2 yang telah dipublikasikan beber apa hari ini. Mereka yang kecewa dan protes adalah honorer yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Karena pada kenyataannya, dari proses menjelang hingga pengumuman hasil tes banyak ditemukan kejanggalan, diantaranya pengumuman hasil tes yang ditunda berulangkali sampai kerancuan peserta yang berhasil lulus padahal tidak memenuhi kriteria.
Protes hasil kelulusan yang menuai banyak protes semestinya mendapat perhatian pemerintah. Sejak awal sebelum merekrut honorer menjadi CPNS, semestinya pemerintah memikirkan konsekwensi dari teknis pengangkatan yang dilakukan pemerintah selama ini untuk mengangkat PNS dari instansi apapun. Tidak lagi pemerintah mempertahankan teknis pengangkatan PNS yang memiliki resiko tinggi terhadap kecurangan. Sebab, bukan rahasia umum lagi bahwa perekrutan dan pengangkatan PNS selama ini seringkali melahirkan banyak kekecewaan.
Kita meyakini, bahwa pemerintah melakukan tes seleksi CPNS untuk diangkat menjadi PNS tentunya dengan tujuan baik agar mendapatkan aparat yang berkualitas dan sesuai dengan harapan. Tapi jika kemudian dikemudian hari teknis perekrutan CPNS ternyata malah menimbulkan kekecewaan dari beberapa pihak maka pemerintah sudah seharusnya mengevaluasinya. Khusus untuk masalah honorer (yang sudah jelas mengabdi), jika pemerintah ingin menghasilkan para aparatur negara yang kompeten dan berkualitas dan transparan semestinya dalam pengangkatan PNS honorer, pemerintah tidak perlu repot mengadakan tes seleksi yang selama ini banyak memberi celah kecurangan, tapi cukup melakukan tahap-tahap sebagai berikut :
1. Pendataan Honorer
Pendataan honorer menjadi awal pemerintah mengetahui dan mengkalkulasi honorer dari setiap instansi pemerintah seluruh Indonesia dari masa kerja tahun tertentu. Pendataan dilakukan secara selektif melalui SK Honorer yang telah dikleuarkan oleh masing-masing instansi dan dipastikan data yang dimiliki benar-benar valid dan tidak direkayasa. Pada tahap ini, pemerintah harus hati-hati betul memeriksa SK honorer, karena jika tidak dilakukan validasi yang ketat, rekayasa bisa terjadi seperti tahun pengangkatan dan sebagainya. Jika dikemudian hari ditemukan rekayasa atau kecurangan data, maka pemerintah harus tegas dan langsung menganulir honorer yang bersangkutan.
2. Pengangkatan Otomatis Bertahap
Pengangkatan bertahap dilakukan berdasarkan kriteria usia dan masa kerja. Teknisnya pemerintah lebih mendahulukan pengangkatan honorer yang memiliki usia lebih tua dan masa kerja lebih lama. Ini lebih tampak adil dan manusiawi dibandingkan dengan tes seleksi yang seringkali malah menyingkirkan honorer tua dan yang bermasa kerja sudah puluhan tahun. Teknis pengangkatan honorer K2 yang sudah dilakukan dengan jalan seleksi antar honorer (tidak diangkat otomatis) hanya menyisakan masalah dikemudian hari. Karena, sudah terbukti pasca pengumuman hasil tes hanya menyisakan kekecewaan yang mendalam bagi honorer tua dan bermasa kerja lama namun akhirnya tidak dinyatakan lulus. Kenapa hal ini hanya dilakukan pada honorer Kategori I (K1) saja. Bukankah mereka sama-sama sebagai honorer yang memiliki hak untuk diangkat sebagai PNS.
3. Menghabiskan honorer yang ada, bukan memangkas.
Menghabiskan honorer yang ada berdasarkan data yang sudah masuk ke BKD atau BKN tentu lebih realistis dan efisien daripada terus merekrut PNS baru sementara honorer masih banyak tersisa. Sebab jika pemerintah mau melihat data honorer secara keseluruhan, maka banyak didapati honorer yang sudah memiliki usia kritis dan memiliki masa kerja yang sudah sangat lama. Semestinya pemerintah memperhatikan itu, agar pengangkatan PNS betul-betul tampak memperhatikan azas keadilan. Perekrutan PNS berdasarkan jalur umum (tes) hanya memberi celah terjadinya kecurangan, meskipun ada yang memang murni hasil tes kemampuan.
4. Menghilangkan Tes CPNS dan menggantinya dengan Tes Honorer
Teknis pengangkatan CPNS untuk diangkat menjadi PNS lewat jalur umum (tes) semestinya ditiadakan atau setidaknya ditunda sampai honorer yang ada habis. Sebagai gantinya, pemerintah mengadakan tes untuk penerimaan honorer, untuk kemudian secara bertahap diangkat secara otomatis menjadi PNS. Mungkin ini dianggap menutup kesempatan bagi yang lain yang ingin menjadi PNS. Tapi jika dilihat dari azas keadilan dan efisiensi tentu mendahulukan pengangkatan honorer yang sudah ada lebih memberikan rasa keadilan bagi para honorer (terutama honorer usia kritis dan bermasa kerja lama) daripada mengangkat yang PNS baru. Disamping itu, logika sederhananya, pemerintah akan lebih mendapatkan jaminan kualitas pegawai dari honorer yang sudah jelas senioritasnya(usia) dan pengalamannya (masa kerja) dibanding mengangkat pegawai PNS baru yang belum memiliki jam terbang (masa kerja) mumpuni.
Jika teknis pengangkatan PNS masih melalui jalur tes seperti yang terjadi pada honorer K2 ini, maka dipastikan akan terus terjadi gejolak. Karena faktanya, justru pemerintah (lewat pengumuman hasil tes K2) justru masih menyisakan kejanggalan, karena banyak honorer tua yang justru tereliminasi oleh rekannya yang lebih muda usia dan pengabdiannya.
Untuk meredam gejolak dan protes, semestinya pemerintah melakukan langkah-langkah ‘menenangkan” honorer yang merasa dirugikan dengan cara :
1. Menganulir kelulusan secara nasional (Mungkin cara ini sulit dilakukan)
2. Menyeleksi kembali usia dan masa kerja honorer (baik yang lulus maupun yang tidak) dan mengurutkan kembali berdasarkan masa kerja dan usia honorer
3. Mengangkat seluruh honorer tanpa kecuali. Kalaupun terbentur anggaran, pemerintah dapat mengangkat secara bertahap honorer secara bertahap dengan mendahulukan kondisi usia dan masa kerja honorer.
Wallahu A’lam bisshowaab.